Pada semester awal perkuliaan di prodi agribisnis Universitas Nahdlatul Ulama Yogyakarta saya mendapatkan mata kuliah tentang ecopreneurship. Kuliah ini mengajarkan tentang prinsip bisnis dengan tidak hanya mengumpulkan laba sebanyak-banyaknya. Ada beberapa aspek yang perlu dijadikan acuan dalam berbisnis seperti lingkungan, sosial, dan masyarakat.
Salah satu contoh praktiknya adalah bisnis pertanian yang tidak mengedepankan prinsip ecopreneursip, seperti meninggalkan aspek lingkungan. Akibatnya terjadilah kerusakan alam, meningginya tingkat deforestasi, pencemaran air, dan tingginya emisi karbon yang disumbangkan oleh sektor pertanian, sehingga sektor pertanian menjadi kontributor terhadap krisis iklim.
Kita sudah tidak lagi berada pada dampak situasi perubahan iklim, namun lebih parah dari itu, saat ini kita tengah merasakan pada dampak atas krisis iklim. Mari kita telisik lagi, saat ini suhu bumi terus meningkat, keadaan ini disebabkan oleh aktifitas manusia seperti penggunaan energi berbahan fosil, penggunaan transportasi secara masal, ketidak seriusan dalam mengelola limbah industri, aktivitas pertambangan dan deforestasi hutan, penggunaan pupuk kimia pada pertanian, dan lain-lain.
Disamping itu, industri pertanian juga memberikan sumbangsih terhadap krisis iklim. Dimana emisi karbon yang dilepaskan dari hasil penggunaan pupuk kimia secara masal adalah penyebab sektor pertanian memperparah krisis iklim. Dan perlu kita garis bawahi, sektor pertanian menyumbang emisi karbon Indonesia terbesar setelah kebakaran hutan.
Berdasarkan keadaan itu, saya menjadikan tertarik untuk memperdalam pemahaman tentang sustaianble agricultur atau pertanian berkelanjutan. Sehingga saya mengikuti program MSIB kampus merdeka di PT Chakra Giri Energi Indonesia. Selama mengikuti program ini, saya bertugas pada divisi research analys, sebuah divisi mengenai sustainable agriculture.
Diketahui, terdapat tiga aspek yang menjadi titik pijak pada konsepsi pertanian berkelanjutan. Pertama adalah Profit, atau keberlanjutan pada aspek ekonomi. Model bisnis yag digunakan dalam aspek ini adalah ekonomi sirkular, dimana model ini berbeda dengan model ekonomi konvensional. Ekonomi sirkular menuntut adanya perputaran produksi sebuah komoditas tanpa ada sesuatu yang dibuang atau tidak terpakai. Kedua adalah Planet, yaitu keberlanjutan pada aspek lingkungan. Hal ini berkaitan dengan bagaimana seluruh rangkaian produksi yang selalu mengedepankan dampak terhadap lingkungan atau alam. Contohnya adalah penggunaan pupuk kimia dan pestisida pada perawatan tanaman. Ketiga adalah People, yaitu keberlanjutan sosial. Banyak sekali petani rakyat yang tidak mendapat jaminan kesejahteraan karena harga komoditas yang dimonopoli. Petani mendapatkan sedikit sekali keuntungan dan tidak sebanding dengan modal yang sudah dikeluarkan selama proses bertani.
Pada kegiatan MSIB ini saya belajar tentang bagaimana penerapan sustainable agriculture dalam dunia profesional. Komoditas yang saya teliti adalah padi, kelapa, dan kayu energi. Kegiatan yang saya lakukan seperti menganalisis beberapa hal mengenai potensi produksi komoditas, efisiensi rantai pasok dari hulu sampai hilir, analisis finansial, menghitung jejak karbon untuk setiap pola tanam dan rantai pasok produksi.
Saya juga kerap kali melakukan diskusi dengan teman-teman yang memiliki latar belakang pendidikan yang berbeda. Semua itu dalam rangka mengembangkan pengetahuan dan melakukan eksperimen untuk mengatasi krisis iklim dan cita-cita net zero emission di tahun 2060 mendatang. Dimana cita-cita tersebut tidak hanya kita percayakan kepada pemerinta saja, namun semua pihak harus berperan aktif dalam pewujudan cita-cita ini, baik swasta, akademisi, dan masyrakat. (Dyaz Bachtiar/Prodi Agribisnis 2020)